Rabu, 30 November 2016

Ketika Hujan Telah Reda (CERPEN)




Ketika Hujan Telah Reda
Kosong tidak seutuhnya benar-benar kosong di pikiranku seperti dipenuhi segerombolan teroris yang menjajah semua kata-kata di pikiranku, memecah belah rangkaian kata yang tercipta di otakku, sehingga tak satu kata pun terucap dari mulutku. Bukan hanya otakku yang telah di jajah hatiku pun juga, perasaan yang bercampur menjadi satu dalam sebuah ikatan membuat dadaku merasa penuh sesak dan sakit sekali seperti ada yang ingin keluar dari hatiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menatap kosong sebuah pemandangan sore di tepi jurang yang tenang tanpa burung berkicau. Dan hijau rimbun atas warna-warna daun.
            Aku bisa merasakan angin menghebus manabrak wajahku menggerakan bagian ujung rambutku. Pohon berliuk-liuk seperti sedang menari ditiup sang angin. Tapi tampaknya matahari sedang bersedih perlahan bersembunyi di balik awan hitam kemudian menagis tiada henti, orang menganggapnya itu adalah sebuah fenomena terjadinya hujan. Rambutku yang awalnya melambai-lambai sekarang menyentuh diam di kulit kepalaku. Hawa dingin menusuk tulang, badanku perlahan menggigil, tapi aku tetap bertahan sulit untukku untuk meninggalkan tempat ini, aku ingin melampiaskan rasa emosionalku dan ingin kutinggalkan kejadian itu di sini.
            Jika teringat atas apa yang dikatakan orang berjas putih di rumah sakit kota membuatku ingin meneteskan air mata. Kata-kata yang di ucapkannya masih terliang di teingaku.
“Kak jingga pulang kak ibu mencari kakak!” itu suara adikku Siti yang terdengar samar karena ber iringan dengan suara hujan menghantam benda di bawahnya.
“jingga pulang nak apa yang kamu lakukan di tepi jurang, apa yang telah terjadi, pulang nak pulang… nanti kau akan sakit terus-terusan di bawah hujan” suara berbeda terdengar lebih keras tapi, terdengar seperti rintihan menahan sesuatu, suara itu dari Ibuku.
            Aku masih berdiri terdiam di tempat, kepalaku enggan berputar arah, namun mataku tetap memandang kosong yang tersaji di depanku.
Jika orang orang menilaiku pastilah mereka mengagapku orang yang lemah menagis di tengah derasnya hujan, berdiri di tepi jurang, memikirkan sebuah kejadian yang seharusnya dilupakan, tak di simpan pada sebuah memori khusus kenangan pahit.
Aku masih tak percaya selama satu tahun sudah aku, ibu dan adiku menerima surat dari ayah tetapi yang sebenarnya bukan dari ayah. Surat kiriman dari orang lain yang mencoba keluarga kecilku untuk tetap bahagia dengan mengirimkan surat atas nama ayah.
Banyak tafsiran tentang kalimat-kalimat di balik kata ayah. Ayahku adalah orang yang kuat dalam menjalani hidupnya. Padahal, lebih banyak senyum di wajahnya dari pada luka di tubuhnya. Lebih banyak keutuhan dari pada kehancuran di hatinya. Keringatnya selalu mengalir dan membuahkan hasil, walau tak sebesar yang dia inginkan. Dia selalu berusaha sekuat mungkin untuk melengkungkan bibir kita hingga membentuk sebuah senyuman. Tekadnya tak pernah tergantikan oleh siapapun.
            Hujan terus mengguyur. Matahari sepertinya sangat sedih sekali seperti halnya diriku. Alam tampaknya tahu apa yang sedang aku rasakan, dan hanya alam lah yang mengerti keadaanku. Keadaan dimana seperti kataku tadi masih tak percaya pada sebuah kejadian yang rumit yang telah terjadi. Kejadian itu hanya aku saja yang tahu, aku masih tak sanggup menceritakannya, karena otaku masih tetap sama, masih di jajah oleh teroris yang memecah belah rangkaian kata yang tercipta di otakku. Aku bingung dari mana kah aku mulai cerita ini untuk ku ceritakan kepada ibu. Membayangkan betapa sedihnya raut wajahnya ketika aku mencerikannya.
            “ada apa nak sejak kamu datang tadi air sudah berlinang di matamu” suara ibuku berteduh di balik payung putih bermotif bunga yang ia bawa.
            “beri aku waktu ibu!”
            Ibu hanya diam, aku pun juga, Hanya suara hantaman air hujan menabrak payung dan tanah yang terdengar..
            “ibu akan tinggalkan kamu dengan pikiranmu sampai hatimu tenang, semua pasti ada waktunya, ibu akan siap menerima semua ceritamu ketika hujan telah reda, jagan buat ibu menunggu, ibu ingin tahu bagaimana kabar ayah kamu di kota, jika kamu begini ibu beranggapan bahwa ayahmu tidak baik-baik saja di sana” ibu meninggalkanku. Aku bisa merasakan suara hujan menghantam payung perlahan terdengar menjauh.
            Ibu tidak akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi aku tidak akan sanggup memandang wajah ibu saat aku bercerita nanti. Pasti lebih banyak luka yang tergores di hatinya, ketika mendengar semua kalimat yang terucap di mulutku dan ketika teroris di otakku berhenti menjajah.
            Hujan yang sangat deras tadi perlahan menipis, reda dan perlahan kemudian berhenti total. Matahari tampaknya sudah tidak bersedih lagi dan mulai menampakkan dirinya dari persembunyian. Matahari perlahan kembali bersembunyi tapi bersembunyi untuk tidur, perlahan tenggelam di ufuk barat, cahaya luar perlahan gelap kekuningan.
            Dengan berat hati kakiku melangkah meninggalkan tepi jurang, memasuki rumah. Ibu sudah menyambutku dengan selembar handuk kering dan menyuruhku cepat mandi.
            “ibu akan tunggu di ruang tamu”. Ibu dan adik siti sudah tidak sabar mendengar kabar ayahmu”
            Tanpa kata aku menerima handuk pemberian ibu dan menuju ke kamar mandi. Saat mandi pikiranku masih dipenuhi teroris, masih sulit untuk merangkai kata-kata lagi. Jika aku selesai nanti aku akan bercerita atas informasi yang aku dapatkan di kota.
            Selesai mandi dengan tubuh yang masih mengigil tapi kutahan dengan sekuat tenaga aku duduk di sofa ruang tamu yang usang. Dan hanya sofa itulah barang paling mahal di rumah. Ibu menyodorkanku segelas teh hangat, siti sudah duduk di sampingku.
            “bagaiman kabar ayah kamu di kota?”
            “ayah baik baik saja di sana” jawabku yang masih tak sanggup melihat wajah ibu.
            “lantas apa yang membuatmu begitu terpukul?”
            Aku hanya diam dan berusaha keras memikirkan alasan apa yang cocok suapaya ibu tidak tampak sedih.
            “ayah besok pulang bersama paman rizal”
            “paman rizal yang mengajak ayah kekota ?”
            “iya bu” jawabku
            “ah… palingan juga ayah gak pulang lagi kak kayak satu tahun yang lalu, katanya mau pulang tapi sudah setahun gak pulang-pulang” katak adikku siti sambil meninggalkan ruang tamu dan menuju kekamarnya.
            “siti gak boleh begitu”
            “tapi ayah beneran pulang kok dek” teriakku karena siti sudah hilang di balik kelambu kamar tidurnya.
            Esoknya adalah hari istimewah buat Ibu dan Siti. Mendengar kabar dariku bahwa ayah akan pulang setelah 2 tahun pergi kekota. Ibu dn siti menyiapkan beberapa makanan kesukaan ayah.
            Semua makanan dihidangkan tertata rapi di meja ruang tamu. Beberapa kali ibu bertanya ayah akan pulang pukul berapa aku juga tidak tahu ayah akan datang pukul berapa, siti juga tidak ketinggalan ikut bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan ibu sambil mondar-mandir di teras rumah, masuk dan keluar rumah memasang mata keseluruh tempat berharap sosok ayah muncul di perkelokan jalan. Aku yang semakin cemas melihat kecemasan siti dan melihat tingkah ibu yang sering mengintip makanan di balik tudung saji bermaksud mengecek apakah makanan tetap aman saat ayah datang nanti. Hatiku selalu berharap semoga mereka tidak kecewa setelah kedatangan ayah.
            Jam dinding sudang menginformasikan pukul tujuh malam ayah tak kunjung datang. Siti saking capeknya menunggu sampai tertidur di sofa ruang tamu. Hanya duduk sesekali mengecek makanan di balik tudung saji.
            “selamat malam”
            Jleb… hatiku mencelelos sepontan aku mendongak siapa yang mengucap salam tadi. Ibu langsung berdiri. Siti yang masih tertidur pulas di atas sofa.
             Yang datang adalah Paman Rizal di susul di belakangnya adalah sosok ayah. Ibu langsung berdiri memeluk ayah sebelum ayah sempat masuk kedalam rumah. aku membangunkan Siti bermaksud memberi tahu bahwa ayah telah datang dan memberj tempat duduk untuk paman rizal dan ayah.
            Siti langsung terbangun dan memeluk ayah juga dengan meneteskan air mata. Ayah tampak bingung seperti sosok asing yang memeluknya itu. Aku faham betul raut wajah ayah. Ibu melepas pelukanya siti pun juga melepas pelukannya. Ibu mempersilakan ayah dan paman rizal untuk duduk.
            “jingga apa kamu sudah ceritakan semuanya tentang ayahmu” kata paman rizal sambil menatapku lamat-lamat dengan nada suara yang kecil supaya hanya aku dan dirinya yang mendengarnya. Namun ternyata ibu mendengarnya juga.
            “apa maksudnya zal?” kata ibu menyahut perkataan pamam rizal. Paman rizal langsung menatapku tajam, di matanya tampak jelas sedang memarahiku.
            “ibu masih menyimpan surat dari ayah?” tanyaku.
            “apa maksud semua ini” jawab ibu dengan sedikit kecewa dan menatap ayah lamat-lamat.
            “tolong ibu ambil”
            Ibu langsung pergi masuk ke kamar.
            “siti tolong buatkan minum” suruhku kepada siti. Itu adalah salah satu cara supaya hanya ada aku, paman dan ayah di ruang tamu agar bisa membahas masalah antara aku dan paman.
            “kenapa kamu tidak bercerita kepada ibumu?”
            “maaf paman saya tidak tega dengan ibu tapi saya janji saya akan bilang setelah ini”
            Tak lama ibu datang dengan setumpuk surat di tanganya. Dan lagsung duduk di sofa dimana ia duduk tadi. Kemudian menyodorkan tumpukan surat itu kepadaku.
            “ibu maafkan aku” menerima setumpuk surat dari ayah.
            “ada apa nak ceritalah dari tadi ibu menguping pembicaraan kamu dengan paman”
            “jadi begini bu rani…” sahut paman rizal.
            “Tunggu paman biar saya yang bercerita” sahutku memotong perkataan paman rizal. “jadi begini bu… saat jingga ke kota jingga langsung menuju kerumah dimana alamat pengirim surat ini” namun aku menjumpai ayah dan paman yang sedang sibuk bencengkrama di rumah, awalnya ketika jingga datang jingga sudah merasa curiga, jingga akhirnya di beritahu paman rizal bahwa ayah…” aku tak sanggup melanjutkan ceritanya lagi.
            “ayah kamu kenapa ayah kamu baik-baik saja begini” sahut ibu.
            “ayah lupa ingatan, kata dokter ayah mengalami pendarahan di otak akibat tertimpah material bangunan saat ayah berkerja kemudian, dokter menyarankan dilakukan sebuah oprasi dan semua ditanggung oleh paman”
            “maaf kan saya rani tidak bisa menjaga suamimu di sana”
            “lantas apa yang terjadi” jawab ibu dengan air mata yang berlinang di matanya sambil mentap ayah. Ayah tampak bingung dengan suasana yang membingungkan menurutnya di kelilingi oleh orang yang tidak di kenalnya.
            “ayah mengalami gangguan pada ingatanya” kata paman.
            “jingga sudah bertanya kepada dokter bahwa ingatan ayah akan kembali jika dibantu dengan dorongan mengembalikan semua ingatannya”
            ibu langsung memeluk ayah dengan air mata yang mulai mengalir di matanya. Aku pun juga, air mataku juga mengalir deras di wajahku. Aku sudah menduga bahwa semua ini akan terjadi. Kemudian siti datang dengan membawa 4 cangkir berisi teh hangat berjajar rapi di atas nampan kemudian meletakan di atas meja ruang tamu. Lalu, siti tampak bingung se isi ruang tamu diisi dengan suasana haru yang menyelimuti. Lusi tampak linglung tak mengerti banyak hal. Ibu melepaskan pelukannya dan menghapusnya dengan tanganya sendiri.
            “sebaiknya kita makan saya sudah buatkan makanan kesukaan ayah mungkin ayah akan ingat beberapa hal kenangan kita… sebentar saya ambilkan piring”
            Mungkin ingatan ayah akan kembali dengan sebuah cinta yang tuluh tumbuh di hati ibu. Aku berharap ayah segera pulih mengingat memori indah penuh kebahagianan sedih, senang, canda, tawa di rumah ini, kembali mengingat nama ibu namaku nama siti dan semuanya.
             Yang dibutuhkan ayah sekarang adalah sebuah ketulusan kita menerima kenyataan atas apa yang dialami ayah saat ini, aku harus berusaha sekuat tenagaku supaya ibu tidak bersedih lagi mendengar ayah bisa menyebut nama ibu lagi.
Ayah adalah orang yang kuat dalam menjalani hidupnya. Semangat ayah dan ibu berusaha sekuat mungkin  mengembalikan ingtan ayah.
Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar