Ketika
Hujan Telah Reda
Kosong tidak seutuhnya benar-benar
kosong di pikiranku seperti dipenuhi segerombolan teroris yang menjajah semua
kata-kata di pikiranku, memecah belah rangkaian kata yang tercipta di otakku,
sehingga tak satu kata pun terucap dari mulutku. Bukan hanya otakku yang telah
di jajah hatiku pun juga, perasaan yang bercampur menjadi satu dalam sebuah
ikatan membuat dadaku merasa penuh sesak dan sakit sekali seperti ada yang
ingin keluar dari hatiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menatap
kosong sebuah pemandangan sore di tepi jurang yang tenang tanpa burung berkicau.
Dan hijau rimbun atas warna-warna daun.
Aku
bisa merasakan angin menghebus manabrak wajahku menggerakan bagian ujung rambutku.
Pohon berliuk-liuk seperti sedang menari ditiup sang angin. Tapi tampaknya
matahari sedang bersedih perlahan bersembunyi di balik awan hitam kemudian
menagis tiada henti, orang menganggapnya itu adalah sebuah fenomena terjadinya
hujan. Rambutku yang awalnya melambai-lambai sekarang menyentuh diam di kulit
kepalaku. Hawa dingin menusuk tulang, badanku perlahan menggigil, tapi aku
tetap bertahan sulit untukku untuk meninggalkan tempat ini, aku ingin
melampiaskan rasa emosionalku dan ingin kutinggalkan kejadian itu di sini.
Jika
teringat atas apa yang dikatakan orang berjas putih di rumah sakit kota
membuatku ingin meneteskan air mata. Kata-kata yang di ucapkannya masih
terliang di teingaku.
“Kak jingga pulang kak ibu mencari
kakak!” itu suara adikku Siti yang terdengar samar karena ber iringan dengan
suara hujan menghantam benda di bawahnya.
“jingga pulang nak apa yang kamu
lakukan di tepi jurang, apa yang telah terjadi, pulang nak pulang… nanti kau
akan sakit terus-terusan di bawah hujan” suara berbeda terdengar lebih keras
tapi, terdengar seperti rintihan menahan sesuatu, suara itu dari Ibuku.
Aku
masih berdiri terdiam di tempat, kepalaku enggan berputar arah, namun mataku
tetap memandang kosong yang tersaji di depanku.
Jika orang orang menilaiku pastilah
mereka mengagapku orang yang lemah menagis di tengah derasnya hujan, berdiri di
tepi jurang, memikirkan sebuah kejadian yang seharusnya dilupakan, tak di
simpan pada sebuah memori khusus kenangan pahit.
Aku masih tak percaya selama satu
tahun sudah aku, ibu dan adiku menerima surat dari ayah tetapi yang sebenarnya
bukan dari ayah. Surat kiriman dari orang lain yang mencoba keluarga kecilku
untuk tetap bahagia dengan mengirimkan surat atas nama ayah.
Banyak tafsiran tentang
kalimat-kalimat di balik kata ayah. Ayahku adalah orang yang kuat dalam
menjalani hidupnya. Padahal, lebih banyak senyum di wajahnya dari pada luka di
tubuhnya. Lebih banyak keutuhan dari pada kehancuran di hatinya. Keringatnya
selalu mengalir dan membuahkan hasil, walau tak sebesar yang dia inginkan. Dia
selalu berusaha sekuat mungkin untuk melengkungkan bibir kita hingga membentuk
sebuah senyuman. Tekadnya tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Hujan
terus mengguyur. Matahari sepertinya sangat sedih sekali seperti halnya diriku.
Alam tampaknya tahu apa yang sedang aku rasakan, dan hanya alam lah yang
mengerti keadaanku. Keadaan dimana seperti kataku tadi masih tak percaya pada
sebuah kejadian yang rumit yang telah terjadi. Kejadian itu hanya aku saja yang
tahu, aku masih tak sanggup menceritakannya, karena otaku masih tetap sama,
masih di jajah oleh teroris yang memecah belah rangkaian kata yang tercipta di
otakku. Aku bingung dari mana kah aku mulai cerita ini untuk ku ceritakan
kepada ibu. Membayangkan betapa sedihnya raut wajahnya ketika aku
mencerikannya.
“ada
apa nak sejak kamu datang tadi air sudah berlinang di matamu” suara ibuku
berteduh di balik payung putih bermotif bunga yang ia bawa.
“beri
aku waktu ibu!”
Ibu
hanya diam, aku pun juga, Hanya suara hantaman air hujan menabrak payung dan
tanah yang terdengar..
“ibu
akan tinggalkan kamu dengan pikiranmu sampai hatimu tenang, semua pasti ada
waktunya, ibu akan siap menerima semua ceritamu ketika hujan telah reda, jagan
buat ibu menunggu, ibu ingin tahu bagaimana kabar ayah kamu di kota, jika kamu
begini ibu beranggapan bahwa ayahmu tidak baik-baik saja di sana” ibu
meninggalkanku. Aku bisa merasakan suara hujan menghantam payung perlahan
terdengar menjauh.
Ibu
tidak akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi aku tidak akan sanggup
memandang wajah ibu saat aku bercerita nanti. Pasti lebih banyak luka yang
tergores di hatinya, ketika mendengar semua kalimat yang terucap di mulutku dan
ketika teroris di otakku berhenti menjajah.
Hujan
yang sangat deras tadi perlahan menipis, reda dan perlahan kemudian berhenti
total. Matahari tampaknya sudah tidak bersedih lagi dan mulai menampakkan
dirinya dari persembunyian. Matahari perlahan kembali bersembunyi tapi
bersembunyi untuk tidur, perlahan tenggelam di ufuk barat, cahaya luar perlahan
gelap kekuningan.
Dengan
berat hati kakiku melangkah meninggalkan tepi jurang, memasuki rumah. Ibu sudah
menyambutku dengan selembar handuk kering dan menyuruhku cepat mandi.
“ibu
akan tunggu di ruang tamu”. Ibu dan adik siti sudah tidak sabar mendengar kabar
ayahmu”
Tanpa
kata aku menerima handuk pemberian ibu dan menuju ke kamar mandi. Saat mandi
pikiranku masih dipenuhi teroris, masih sulit untuk merangkai kata-kata lagi.
Jika aku selesai nanti aku akan bercerita atas informasi yang aku dapatkan di
kota.
Selesai
mandi dengan tubuh yang masih mengigil tapi kutahan dengan sekuat tenaga aku
duduk di sofa ruang tamu yang usang. Dan hanya sofa itulah barang paling mahal
di rumah. Ibu menyodorkanku segelas teh hangat, siti sudah duduk di sampingku.
“bagaiman
kabar ayah kamu di kota?”
“ayah
baik baik saja di sana” jawabku yang masih tak sanggup melihat wajah ibu.
“lantas
apa yang membuatmu begitu terpukul?”
Aku
hanya diam dan berusaha keras memikirkan alasan apa yang cocok suapaya ibu
tidak tampak sedih.
“ayah
besok pulang bersama paman rizal”
“paman
rizal yang mengajak ayah kekota ?”
“iya
bu” jawabku
“ah…
palingan juga ayah gak pulang lagi kak kayak satu tahun yang lalu, katanya mau
pulang tapi sudah setahun gak pulang-pulang” katak adikku siti sambil
meninggalkan ruang tamu dan menuju kekamarnya.
“siti
gak boleh begitu”
“tapi
ayah beneran pulang kok dek” teriakku karena siti sudah hilang di balik kelambu
kamar tidurnya.
Esoknya
adalah hari istimewah buat Ibu dan Siti. Mendengar kabar dariku bahwa ayah akan
pulang setelah 2 tahun pergi kekota. Ibu dn siti menyiapkan beberapa makanan
kesukaan ayah.
Semua
makanan dihidangkan tertata rapi di meja ruang tamu. Beberapa kali ibu bertanya
ayah akan pulang pukul berapa aku juga tidak tahu ayah akan datang pukul berapa,
siti juga tidak ketinggalan ikut bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan
ibu sambil mondar-mandir di teras rumah, masuk dan keluar rumah memasang mata
keseluruh tempat berharap sosok ayah muncul di perkelokan jalan. Aku yang semakin
cemas melihat kecemasan siti dan melihat tingkah ibu yang sering mengintip
makanan di balik tudung saji bermaksud mengecek apakah makanan tetap aman saat
ayah datang nanti. Hatiku selalu berharap semoga mereka tidak kecewa setelah
kedatangan ayah.
Jam
dinding sudang menginformasikan pukul tujuh malam ayah tak kunjung datang. Siti
saking capeknya menunggu sampai tertidur di sofa ruang tamu. Hanya duduk
sesekali mengecek makanan di balik tudung saji.
“selamat
malam”
Jleb…
hatiku mencelelos sepontan aku mendongak siapa yang mengucap salam tadi. Ibu
langsung berdiri. Siti yang masih tertidur pulas di atas sofa.
Yang datang adalah Paman Rizal di susul di
belakangnya adalah sosok ayah. Ibu langsung berdiri memeluk ayah sebelum ayah
sempat masuk kedalam rumah. aku membangunkan Siti bermaksud memberi tahu bahwa
ayah telah datang dan memberj tempat duduk untuk paman rizal dan ayah.
Siti
langsung terbangun dan memeluk ayah juga dengan meneteskan air mata. Ayah
tampak bingung seperti sosok asing yang memeluknya itu. Aku faham betul raut
wajah ayah. Ibu melepas pelukanya siti pun juga melepas pelukannya. Ibu
mempersilakan ayah dan paman rizal untuk duduk.
“jingga
apa kamu sudah ceritakan semuanya tentang ayahmu” kata paman rizal sambil
menatapku lamat-lamat dengan nada suara yang kecil supaya hanya aku dan dirinya
yang mendengarnya. Namun ternyata ibu mendengarnya juga.
“apa
maksudnya zal?” kata ibu menyahut perkataan pamam rizal. Paman rizal langsung
menatapku tajam, di matanya tampak jelas sedang memarahiku.
“ibu
masih menyimpan surat dari ayah?” tanyaku.
“apa
maksud semua ini” jawab ibu dengan sedikit kecewa dan menatap ayah lamat-lamat.
“tolong
ibu ambil”
Ibu
langsung pergi masuk ke kamar.
“siti
tolong buatkan minum” suruhku kepada siti. Itu adalah salah satu cara supaya
hanya ada aku, paman dan ayah di ruang tamu agar bisa membahas masalah antara
aku dan paman.
“kenapa
kamu tidak bercerita kepada ibumu?”
“maaf
paman saya tidak tega dengan ibu tapi saya janji saya akan bilang setelah ini”
Tak
lama ibu datang dengan setumpuk surat di tanganya. Dan lagsung duduk di sofa
dimana ia duduk tadi. Kemudian menyodorkan tumpukan surat itu kepadaku.
“ibu
maafkan aku” menerima setumpuk surat dari ayah.
“ada
apa nak ceritalah dari tadi ibu menguping pembicaraan kamu dengan paman”
“jadi
begini bu rani…” sahut paman rizal.
“Tunggu
paman biar saya yang bercerita” sahutku memotong perkataan paman rizal. “jadi
begini bu… saat jingga ke kota jingga langsung menuju kerumah dimana alamat
pengirim surat ini” namun aku menjumpai ayah dan paman yang sedang sibuk
bencengkrama di rumah, awalnya ketika jingga datang jingga sudah merasa curiga,
jingga akhirnya di beritahu paman rizal bahwa ayah…” aku tak sanggup
melanjutkan ceritanya lagi.
“ayah
kamu kenapa ayah kamu baik-baik saja begini” sahut ibu.
“ayah
lupa ingatan, kata dokter ayah mengalami pendarahan di otak akibat tertimpah
material bangunan saat ayah berkerja kemudian, dokter menyarankan dilakukan
sebuah oprasi dan semua ditanggung oleh paman”
“maaf
kan saya rani tidak bisa menjaga suamimu di sana”
“lantas
apa yang terjadi” jawab ibu dengan air mata yang berlinang di matanya sambil
mentap ayah. Ayah tampak bingung dengan suasana yang membingungkan menurutnya
di kelilingi oleh orang yang tidak di kenalnya.
“ayah
mengalami gangguan pada ingatanya” kata paman.
“jingga
sudah bertanya kepada dokter bahwa ingatan ayah akan kembali jika dibantu
dengan dorongan mengembalikan semua ingatannya”
ibu langsung memeluk ayah dengan air mata yang mulai mengalir di matanya. Aku pun juga, air mataku juga mengalir deras di wajahku. Aku sudah menduga bahwa semua ini akan terjadi. Kemudian siti datang dengan membawa 4 cangkir berisi teh hangat berjajar rapi di atas nampan kemudian meletakan di atas meja ruang tamu. Lalu, siti tampak bingung se isi ruang tamu diisi dengan suasana haru yang menyelimuti. Lusi tampak linglung tak mengerti banyak hal. Ibu melepaskan pelukannya dan menghapusnya dengan tanganya sendiri.
ibu langsung memeluk ayah dengan air mata yang mulai mengalir di matanya. Aku pun juga, air mataku juga mengalir deras di wajahku. Aku sudah menduga bahwa semua ini akan terjadi. Kemudian siti datang dengan membawa 4 cangkir berisi teh hangat berjajar rapi di atas nampan kemudian meletakan di atas meja ruang tamu. Lalu, siti tampak bingung se isi ruang tamu diisi dengan suasana haru yang menyelimuti. Lusi tampak linglung tak mengerti banyak hal. Ibu melepaskan pelukannya dan menghapusnya dengan tanganya sendiri.
“sebaiknya
kita makan saya sudah buatkan makanan kesukaan ayah mungkin ayah akan ingat
beberapa hal kenangan kita… sebentar saya ambilkan piring”
Mungkin
ingatan ayah akan kembali dengan sebuah cinta yang tuluh tumbuh di hati ibu.
Aku berharap ayah segera pulih mengingat memori indah penuh kebahagianan sedih,
senang, canda, tawa di rumah ini, kembali mengingat nama ibu namaku nama siti
dan semuanya.
Yang dibutuhkan ayah sekarang adalah sebuah
ketulusan kita menerima kenyataan atas apa yang dialami ayah saat ini, aku
harus berusaha sekuat tenagaku supaya ibu tidak bersedih lagi mendengar ayah
bisa menyebut nama ibu lagi.
Ayah adalah orang yang kuat dalam
menjalani hidupnya. Semangat ayah dan ibu berusaha sekuat mungkin mengembalikan ingtan ayah.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar